“MOXIE!” Pertontonkan Fantasi Feminisme ala Remaja Kulit Putih

Charlenne Kayla Roeslie
3 min readAug 28, 2021

--

Poster film MOXIE!

“Rebel girl, rebel girl
Rebel girl you are the queen of my world!”

Lagu Rebel Girl karya Bikini Kill samar-samar terdengar dari headphone merah muda yang terpasang di telinga Vivian (Hadley Robinson). Perempuan berusia 16 tahun itu sedang merencanakan sebuah revolusi feminisme di sekolahnya. Berbekal 50 eksemplar zine, anonimitas, dan kemarahan remaja, ia akan meruntuhkan patriarki.

Sayangnya, perjuangan melawan patriarki di dunia nyata tidak semudah itu. Pada era saat interseksionalitas telah menjadi norma dalam gerakan feminisme, menonton MOXIE! (2021) terasa seperti menonton pertunjukkan fantasi yang mengawang-mengawang, alih-alih realitas gerakan feminisme masa kini. Apa mungkin, inilah potret feminisme saat ini yang sesungguhnya?

Sutradara Amy Poehler tampaknya ingin menjadikan MOXIE! film pengantar feminisme yang ringan dan mudah dipahami remaja muda. Mengusung tagline “Find Your Voice”, MOXIE! mengangkat kisah siswi-siswi SMA Rockport yang karena membaca zine buatan Vivian, ingin melawan seksisme yang bercokol sekolah mereka. Mereka lelah dengan perundungan dan perlakuan seksis nan misoginis yang mereka terima dari kapten tim american football pria, Mitchell (Patrick Schwarzenneger), guru, bahkan kepala sekolah SMA Rockport yang diperankan oleh Marcy Gray Harden.

Premis dan konsep cerita yang diusung oleh MOXIE! cukup menarik dan memiliki potensi untuk menjadi “film pergerakan” bagi perempuan muda, terlebih karena film ini dirilis pada bulan Maret, menjelang Hari Perempuan Internasional. Namun sayang, eksekusinya berantakan. Bukan karena akting para aktornya, melainkan karena naskah dan penyutradaraan yang buruk.

Ada beberapa hal yang mengganjal setelah saya selesai menonton film berdurasi satu jam 51 menit ini. Tokoh utamanya, Vivian, yang akhirnya menjadi “pemimpin gerakan”, digambarkan sebagai remaja pemalu, selalu diam dan tak ingin terlihat. Bagi saya, ia tak lebih dari pengecut. Membuat “kekacauan”, tapi tak berani bertanggung jawab atas hal itu. Alhasil, teman-teman seperjuangannyalah yang perlu maju untuk melindungi gerakan. Semua hanya karena Vivian tak ingin orang-orang tahu bahwa ialah sang pembuat zine bernama MOXIE! itu. Ia tak sadar bahwa perempuan-perempuan kulit hitam dan Tionghoa yang ia “korbankan” berada di posisi yang lebih rentan jika dibandingkan dengan dirinya yang berkulit putih.

Vivian (Hadley Robinson), karakter utama dalam MOXIE! (IMDb)

Selain itu, MOXIE! pun meninggalkan beberapa masalah tak terselesaikan sampai akhir film. Pada awal film, kita melihat Vivian kesulitan menulis esai tentang hal yang ia pedulikan. Saat itu, ia tak peduli pada apapun. Seiring berjalannya film, kita dapat melihat bahwa Vivian peduli pada isu feminisme. Namun, sampai akhir film, kita tidak pernah melihat esai itu lagi. Ia tak pernah disebut, dikerjakan, ataupun dibahas dalam kelas. Tak ada juga kejelasan mengenai isu keluarga yang dihadapi Vivian.

Pada akhir film, Vivian menyadari bahwa ia tak bisa terus-menerus lari dari tanggung jawab. Dalam sebuah pidato di depan sekolah, Vivian mengaku bahwa ia adalah pembuat MOXIE!, dan semuanya, secara tiba-tiba, menjadi baik-baik saja. Tak ada konsekuensi, tak ada apapun. Betul-betul terasa seperti sebuah fantasi.

Meski begitu, patut diakui bahwa para aktor dan aktris muda yang berperan dalam MOXIE! berhasil menunjukkan kemampuan akting yang solid, terutama Patrick Schwarzenegger dan Nico Hiragana yang memerankan Seth, pacar Vivian. Saya juga menyukai upaya MOXIE! untuk menggambarkan hubungan yang sehat antar Seth dan Vivian. Sesuatu yang segar di antara banyaknya hubungan problematik yang tampil di media saat ini.

Selain itu, ada juga representasi korban kekerasan seksual yang takut untuk bicara. Di kultur yang patriarkis, korban kekerasan seksual kerap takut bicara dan melapor karena stigma yang akan dilekatkan masyarakat kepada mereka. Melihat hal itu terpresentasikan di film yang target audiensnya adalah anak-anak SMP-SMA sungguh membuat saya senang. Langkah yang baik untuk memupuk empati audiens terhadap korban kekerasan di dunia nyata.

Secara keseluruhan, MOXIE! memang bukanlah film feminisme yang kita harapkan. Jika dibandingkan dengan banyak film-film bertema perempuan lain, ia jelas punya banyak kekosongan konteks dan perspektif. Namun, dengan soundtrack yang menghentak dan kemasan yang ringan, film ini bisa menjadi sarana memperkenalkan konsep feminisme kepada anak-anak.

Ulasan ini dibuat pada Maret 2021 untuk mata kuliah Entertainment Journalism.

--

--

Charlenne Kayla Roeslie

Jurnalis lepas. Kadang menulis, kadang meneliti, selamanya membaca.