Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian

Charlenne Kayla Roeslie
14 min readJun 25, 2021
Foto ilustrasi oleh Mika Baumeister dari Unsplash

Saat itu April 2017. Elle (bukan nama sebenarnya) baru saja menyelesaikan kegiatan belajarnya di kampus. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, memintanya mengakses tangga darurat di lantai tiga Gedung B Universitas Multimedia Nusantara (UMN)

“Dia, sih, dalihnya mau ketemu gue, mau ngasih hadiah.”

Elle membuka pintu darurat. Di sana, ia ditemui oleh teman sekelasnya yang namanya kami samarkan sebagai Bagas. Awalnya, pertemuan berlangsung biasa saja, hingga tiba-tiba Bagas mencium bibir Elle dan mengajaknya ke toilet pria di gedung C UMN.

Elle sadar bahwa ada yang salah dengan perilaku Bagas. Namun, saat itu, ia merasa tidak berdaya. Di bilik terujung toilet pria, Bagas meminta Elle untuk memegang penisnya. Elle menolak, tetapi Bagas memaksa. Elle mencoba menolak lagi, ada jadwal casting film pendek yang perlu ia hadiri. Bagas pun melepasnya. Elle berhasil menyelamatkan diri dari sebuah percobaan pemerkosaan.

Sayangnya, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Selang beberapa hari, Bagas kembali menghubungi Elle, mencarinya. Saat itu, Elle sedang duduk dalam sebuah kelas kosong di lantai 8 Gedung C UMN. Ia memang kerap kali mencari ruang kosong di sela-sela waktu kelas untuk mengerjakan tugas atau sekadar bermain ponsel. Elle menjawab seadanya.

“Gue di lantai 8,” ketiknya.

Elle tak menyangka Bagas akan benar-benar mencarinya, terlebih menemukannya duduk sendirian di dalam kelas. Bagas masuk, menutup pintu, dan menciumnya lagi. Elle buru-buru mencari alasan untuk kabur. Ia bilang, ia harus menemui salah satu temannya untuk casting lagi dan keluar dari kelas.

Saat Elle menceritakan hal ini kepada teman-teman terdekatnya, mereka meminta Elle untuk memblokir kontak Bagas. Pasca-kejadian tersebut, Bagas pun tak pernah “menganggu” Elle lagi.

Bukan Satu-Satunya

Tentunya, Elle bukanlah satu-satunya penyintas kekerasan seksual di kampus. Kita mungkin mengenal serial #NamaBaikKampus, proyek investigasi kolaborasi Tirto, Vice, dan The Jakarta Post yang berupaya mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan-perguruan tinggi Indonesia. Memang, hingga saat ini, baru kasus di UIN Malang, UGM, Undip, USU, dan STMIK Primakara yang terungkap. Namun, “belum terungkap” tidaklah sama dengan “tidak ada”. Penyintas ada di mana-mana, termasuk di UMN.

Dalam kurun waktu 15 hari, sejak 1 hingga 15 April 2021, kami menerima 15 testimoni dari 14 penyintas kekerasan seksual di UMN. Semua penyintas yang bercerita kepada kami berstatus sebagai mahasiswa UMN saat mengalami kekerasan. Mereka datang dari berbagai jurusan, angkatan, dan gender. Bentuk kekerasan yang dialami para penyintas pun beragam, mulai dari ucapan bernuansa seksual yang dilontarkan secara langsung atau lewat chat, intimidasi seksual, direkam saat berada di toilet, sentuhan pada bagian tubuh tertentu, hingga dipaksa berhubungan seksual. Dari 15 kasus yang tertampung, empat di antaranya dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa.

Ketika ditanya mengenai keinginan untuk melaporkan kekerasan yang dialami ke kampus, sebagian besar korban yang kami wawancarai sempat terpikir untuk melapor, tetapi mengurungkan niat mereka. Elle sendiri tidak melaporkan pelecehan yang ia alami ke kampus karena merasa tidak memiliki bukti dan merasa lebih aman jika bercerita ke teman.

“Waktu itu aku merasa bahwa ini akan sulit diurus di kampus, apalagi waktu itu sexual harassment, meskipun merupakan isu serius, aku belum pernah dengar ada yang open tentang itu di kampus, baik pas aku maba [mahasiswa baru] maupun di semester-semester selanjutnya sampai aku skripsian,” ujar Elle saat kami temui, Kamis (08/04/21).

Meski kampus sudah memiliki layanan Student Support, para penyintas masih enggan untuk melapor dan bercerita. Hal ini menunjukkan kegagalan kampus dalam membangun ruang aman yang memungkinkan penyintas untuk menceritakan pengalamannya dengan nyaman dan tanpa rasa takut.

Joce Timoty Pardosi, Direktur Umum HopeHelps Network, organisasi pengada layanan tanggap dan pencegahan seksual di kampus, mengatakan bahwa kampus seringkali tidak proaktif dan justru mempersempit ruang aman bagi penyintas. Kebanyakan hanya menunggu laporan dari penyintas serta tidak menciptakan suasana dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi penyintas untuk bercerita.

Ketika ditemui dan ditanyai tentang ruang aman, Dewan Etik Mahasiswa (DEM) Universitas Multimedia Nusantara justru bertanya balik kepada kami, hal apa yang membuat kami tidak nyaman berkonsultasi dengan Student Support.

“Kami sudah melakukan semampu kami,” ujar Fiona Damanik, sekretaris DEM.

Dosen Juga Terlibat

Pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup kehidupan kampus tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga dosen. Dalam kasus seperti ini, ketimpangan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa berperan besar. Sandra (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mahasiswa yang mengalami hal ini.

Penghujung tahun 2018. Saat itu, Sandra masih berstatus sebagai mahasiswa semester satu di Fakultas Ilmu Komunikasi UMN. Layaknya mahasiswa baru lainnya, antusiasme Sandra dalam menimba ilmu masih tinggi.

Dalam salah satu mata kuliah, Sandra diajar oleh Joko (bukan nama sebenarnya). Sebagai dosen, Joko dikenal baik, ramah, dan mudah akrab dengan para mahasiswa. Berpengalaman mengajar siswa-siswa dari Negeri Ginseng, ucapan “Sarangheo!” sering dilontarkan Joko sebagai gurauan kepada para mahasiswanya, membuat suasana kelas cair.

Keramahan Joko pun berlanjut dalam bentuk pesan personal kepada Sandra. Sebagai mahasiswa baru, Sandra belum mengerti batas-batas apa yang seharusnya berlaku dalam hubungan dosen-mahasiswa. Ia pikir, pesan yang dikirimkan oleh Joko masih wajar sekalipun tak berhubungan dengan kegiatan atau performa akademiknya.

Sandra menceritakan hal tersebut kepada teman-teman sepermainannya. Namun, saat kelas Joko, salah satu dari mereka kelepasan bercerita ke Joko. Malamnya, Joko mengirimkan pesan lagi kepada Sandra.

“Jangan kasih tahu siapa-siapa kalau saya nge-chat,” tulisnya.

Sejak saat itu, sang dosen semakin sering berkirim pesan kepada Sandra lewat WhatsApp dan membalas cerita (story) Instagramnya.

“Padahal tadi saya ke UMN, cari kamu. Mau ngasih kado,” ujar Joko dalam sebuah pesan Instagram kepada Sandra. “Senin padahal bukan jadwal saya ke UMN. Saya bela-belain datang, eh, kabur…”

Pelecehan yang awalnya terjadi secara daring itu pun merambat ke dunia nyata. Joko mengambil foto Sandra secara diam-diam saat kelasnya berlangsung. Tak hanya itu, ia juga mengirimkan puisi kepada Sandra, berkata bahwa Sandra mengingatkannya kepada mantannya, dan menceritakan urusan rumah tangganya kepada Sandra. Tentunya, Sandra merasa risih.

“Itu bikin gue jijik banget, sih. Ya, buat apa lo cerita kehidupan ranjang lo sama istri lu? Emangnya gue harus apa?” cerita Sandra frustrasi. Setelah ujian akhir semester (UAS), Sandra pun memblokir kontak Joko. Namun, sang dosen masih kerap membalas cerita Instagramnya.

“Gua inget banget waktu itu story Instagramnya itu gue lagi makan sama keluarga gue, terus gue enggak pakai hijab. Terus dikomentarin sama dia, ‘Kok lepas hijab, sih?’ Terus sejak itu kalau dia ngomong pasti kayak gitu. ‘Lagi lepas hijab ya?’ gitu,” ujar Sandra.

Tak hanya Sandra, Dea (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2018, juga mengalami perlakuan serupa dari Joko. Saat itu, pada semester pertama, Joko menugaskan para mahasiswa untuk menulis cerita berdasarkan pengalaman pribadi mereka.

Di antara tumpukan karya para mahasiswa, Joko memuji karya Dea. Ia bilang, Dea mengingatkannya pada mantannya. Dea sempat kaget dan tidak tahu harus merespons apa, tetapi ia tak menggubris pujian tersebut. Pada beberapa tugas lainnya, Joko kembali memuji Dea atas karyanya. Dea menerima pujian tersebut seperti mahasiswa pada umumnya.

“Aku menerima pujian itu sebagai mahasiswa yang suka menulis. Mengetahui seorang profesional mengakui karyaku, aku sangat mengapresiasinya,” cerita Dea pada kami saat ditemui pada Jumat (09/04/21).

Pada sebuah penugasan, Dea sempat meminta penangguhan waktu pengumpulan melalui chat pribadi kepada Joko. Joko membalas,

“Untuk kamu, apa, sih, yang enggak boleh?”

Pertemuan terakhir mata kuliah yang diajar Joko. Setelah kelas, Dea dan teman-teman berselonjor mengerjakan tugas di belakang kelas. Tiba-tiba, Joko menghampiri Dea dan memotretnya. Tertegun di tempat, Dea berpose. “Untuk kenang-kenangan saja,” pikir Dea. Ketika Joko mengirimkan hasil jepretannya ke Dea, ia hanya bisa berterima kasih.

Semester satu resmi berakhir setelah UAS. Namun, Joko masih saja menghubungi Dea lewat WhatsApp. 30 Desember 2018, Joko membuka pembicaraan dengan menanggapi tugas kesan-pesan Dea selama mengikuti kelasnya.

“Apa kabar? Tadi aku baru baca lagi beberapa komentarmu,” ujarnya. “Karena Dea mengingatkan kepada seseorang yang ada di kehidupan saya di masa lalu. (Tolong ya, ini hanya buat Dea) Tadinya aku enggak mau bilang, tapi gara-gara Dea bilang jangan lupakan [merujuk pada tugas kesan dan pesan], jadi aku buka juga rahasia ini.”

Tak hanya itu, Joko juga meminta Dea untuk mengirimkan foto-foto diri Dea kepadanya.

Dea hanya bisa ghosting. Ia tak tahu harus merespon apa lagi.

Penyintas Takut Melapor

Dari cerita Sandra dan Dea, Joko terlihat memiliki pola. Dengan citra seorang profesional berwibawa dan ramah, ia mencoba mendekati para mahasiswi baru yang belum piawai menavigasi lingkungan sosial di kampus. Joko meluncurkan kata-kata manisnya sambil bersembunyi di balik “Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya,” lewat percakapan personal. Joko juga menyimpan foto targetnya yang ia ambil di akhir semester.

Ujung-ujungnya, Joko akan menyatakan perasaannya melalui puisi, berkata bahwa para penyintas mengingatkannya kepada mantannya, dan sesekali menceritakan kondisi rumah tangganya. Sandra dan Dea bukanlah yang terakhir. Kami juga menerima cerita dari Dewi (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UMN yang dilecehkan Joko saat ia duduk di semester tiga.

Tentunya, Sandra, Dea, dan Dewi merasa sangat risih mendapat perlakuan seperti itu. Meskipun begitu, mereka mengurungkan niat untuk melapor setiap kali Joko mengirimkan pesan pada saat kejadian, Joko masih berstatus sebagai dosen mereka dan memiliki kuasa atas nilai akademik ketiganya.

Timpangnya relasi kuasa antara korban dan pelaku memang merupakan salah satu faktor penyebab kekerasan seksual di samping budaya patriarki dan ketidakadilan gender. Dalam hubungan-hubungan dengan relasi kuasa yang timpang seperti orang tua-anak, bos-pegawai, dan dosen-mahasiswa, kekerasan dalam bentuk apa pun rentan terjadi. Namun, Direktur Yayasan Pulih Dian Indraswari menyatakan bahwa pada era internet, penyalahgunaan relasi kuasa tak hanya terjadi dalam hubungan-hubungan yang disebutkan di atas.

“Kita temui influencer dan pemuka agama pada usia muda kemudian memanfaatkan pesonanya untuk menarik korbannya. Itu juga masuk relasi kuasa yang disalahgunakan,” jelas Dian.

Dalam konteks kekerasan yang dilakukan Joko terhadap mahasiswa-mahasiswanya, penyalahgunaan relasi kuasa paling jelas terlihat ketika ia memperlakukan Sandra, Dea, dan Dewi secara khusus dalam bidang akademik atau “mengancam” mereka soal nilai.

Sandra pernah mendapatkan perlakuan khusus dari Joko berupa dongkrak nilai UAS. Joko sengaja menanyakan nilai UAS Sandra lewat obrolan personal. Joko berkata bahwa tulisan yang dikumpulkan Sandra untuk UAS sebenarnya tidak begitu bagus, tetapi khusus bagi Sandra, Joko “mendongkrak” nilainya.

“Dia, tuh, lumayan bagus ngasih nilai ke gue, yang paling gede di antara temen-temen gue. Padahal gue pikir tulisan gue enggak bagus-bagus banget,” ujar Sandra.

Dea pun begitu. Pasca-UAS, ia juga sempat menerima pesan singkat dari Joko mengenai jawaban UAS-nya. Joko sempat “mengancam” Dea, mengatakan bahwa Dea akan bertemu dengannya lagi. Dea hanya membaca pesan Joko, tak membalas. Ia mulai overthinking. Selama semester itu, Joko juga cukup sering melontarkan candaan bahwa ia akan “tidak meluluskan” Dea jika ia tidak memanggilnya dengan sebutan “Mas”.

“Aku takutnya kalau misalnya dia nge-message aku kayak gitu terus jawabanku aneh-aneh atau membuatnya tidak nyaman, aku takut itu ngaruh ke nilai aku,” ujar Dea. Karena itulah, Dea bertahan dengan tetap membalas pesan-pesan Joko yang tak senonoh.

Sandra dan Dea tak sempat berpikir untuk melaporkan perlakuan Joko pada kampus atau figur otoritas lainnya. Sandra bilang, ia takut urusannya jadi panjang.

“Takut dia [Joko] malah nge-chat gua lagi. Itu bikin babak baru, enggak, sih, dengan ngasih space dia nge-chat gua lagi? Gua takut banget,” ujar Sandra.

Di UMN sendiri, penyintas seharusnya bisa melaporkan kasus kekerasan seksual yang ia alami melalui layanan Student Support. Layanan ini juga berperan memberikan layanan konseling dan pendampingan kepada para penyintas dan mahasiswa secara general. Namun saat kami menanyakan kepada para penyintas mengenai apakah mereka melaporkan kekerasan yang mereka alami ke Student Support, sebagian besar berkata bahwa mereka tidak tahu bahwa bisa melapor ke Student Support.

“Jarang, kan. Di UMN kayaknya belum dikasih tahu banget gitu tentang kalau ada kekerasan seksual harus lapor ke mana di kampus. Jadi ya, ya udah, cuma sekadar niat doang [untuk lapor],” ujar Sandra.

Hal serupa dikatakan Dea. “Tahu ada Student Support. Tapi aku tahunya mereka cuma konseling doang gitu, bukan pihak yang menangani kasus.”

Rasa takut penyintas untuk bercerita kepada pihak otoritatif di kampus dan belum berhasilnya sosialisasi Student Support pada mahasiswa sebagai wadah layanan konseling non-akademik dan tempat pelaporan kekerasan seksual di kampus membuktikan bahwa Universitas Multimedia Nusantara belum berhasil menjadi ruang aman bagi para mahasiswa dan penyintas. Hal ini membuat para penyintas lebih memilih untuk bercerita dan meminta perlindungan dari teman-teman sesama mahasiswa jika mengalami kekerasan seksual.

Sebagai langkah awal menciptakan ruang aman dan mencegah kekerasan seksual di kampus, Dian Indraswari memaparkan bahwa kampus perlu mengenalkan mahasiswanya dengan definisi dan cara pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG), termasuk pelecehan dan kekerasan seksual. Ia menekankan bahwa korban sering tidak sadar bahwa mereka mengalami kekerasan.

Sandra dan Dea misalnya, baru menyadari bahwa perlakuan yang mereka terima dari Joko dikategorikan sebagai kekerasan ketika semua itu sudah selesai.

After I realized everything, now it just creeps me out,” ujar Dea.

Aturan Kampus UMN: Definisi Jelas, Penanganan Kurang

Saat ini, Perundang-undangan Republik Indonesia hanya mengenal istilah “perzinahan”, “perkosaan” dan “percabulan”. Definisi “perkosaan” pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285 pun hanya merujuk pada penetrasi penis dan vagina. Dengan demikian, “pelecehan” seperti siulan, memegang bagian tubuh yang tidak diinginkan, dan berkirim pesan yang tak mengenakkan tak bisa diproses oleh hukum Indonesia.

Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Dian Novita memaparkan bahwa pembuktian kekerasan seksual di Indonesia sangat menyudutkan penyintas. Pengadilan bisa menanyakan siapa saksi peristiwa kekerasan seksual. Padahal, tidak semua kekerasan seksual terjadi di ranah publik. Belum lagi pertimbangan kesepakatan berhubungan seks antar pasangan. Jika penyintas perkosaan dianggap sepakat, pengadilan dapat memutuskan pelaku tidak bersalah.

“Di Indonesia ini, korban justru yang harus mencari cara bahwa si pelaku bersalah,” komentar Dian Novita.

Maka dari itu, para aktivis kesetaraan gender, pendamping, dan penyintas kekerasan seksual sangat mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebab, pasal 12 RUU PKS mendefinisikan pelecehan seksual sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Namun, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan.

Pada 27 April silam, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan akan membuat Peraturan Mendikbud (Permendikbud) terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus dalam waktu dekat. Dilansir dari tirto.id, terdapat tantangan untuk melakukan konsensus dengan instansi agar rumusan substansi peraturan tidak tumpang tindih.

Di UMN sendiri, terdapat sebuah badan di bawah rektorat yang berfungsi untuk mengambil keputusan jika ada pelanggaran peraturan yang dilakukan mahasiswa UMN, yaitu Dewan Etik Mahasiswa (DEM). Berdasarkan laman resminya di dem.umn.ac.id, tertulis bahwa DEM memiliki kewenangan untuk menelusuri motivasi di balik pelanggaran mahasiswa, kemudian dikaitkan dengan standar Kode Etik Mahasiswa UMN. Pun demikian, DEM tidak bertugas mencari fakta kebenaran, melainkan hanya mencari batasan-batasan untuk memperjelas fakta.

Jika mengalami kekerasan seksual di kampus, mahasiswa dapat memilih untuk melaporkannya ke Student Support atau langsung melapor melalui laman resmi DEM UMN. Setelah log in, mahasiswa dapat membuat laporan dan menuliskan kronologi. Namun, ada dua kemungkinan yang menanti laporan tersebut: laporan bisa diproses atau tidak diproses, tergantung keputusan DEM dan rektorat. Jika diproses, DEM akan memanggil pelapor dan terlapor untuk meninjau lebih lanjut akan kasus tersebut. Jika diperlukan, akan disediakan proses hearing bagi yang bersangkutan.

Tangkapan layar detail pelanggaran pelecehan pada laman resmi DEM UMN. (#SaatnyaBicara/Xena Olivia)

Kami sempat menunjukkan Pasal 14 Kode Etik Mahasiswa UMN tentang Larangan Tindakan Pelecehan (Harassment) kepada Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Dian Novita. Di sana, tertulis definisi pelecehan seksual menurut UMN:

“[…] sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban, termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.”

“Wah, ini sih sudah bagus banget. Lebih bagus dari punya negara, malah,” tutur Dian saat kami wawancarai pada Kamis (22/04/21).

Hal ini karena dalam kode etik mahasiswanya, UMN menjabarkan definisi pelecehan seksual dengan jelas dan mendetail. Sayangnya, kampus masih menuntut adanya bukti konkret terlebih dahulu jika ingin melaporkan suatu kasus. Sekretaris DEM Fiona Damanik mengatakan bahwa DEM bergerak berdasarkan bukti. Oleh karena itu, jika seorang mahasiswa terkena catcalling atau mendapat lirikan mata yang tidak senonoh, tetapi tidak ada bukti konkret, hal tersebut akan sulit untuk diproses oleh DEM.

“Kalau tadi tentang lirikan mata, kan, kita merasakan sesuatu. Memang ada di kode etik. Kalau ada teman yang lihat juga, itu bisa kita bisa mintain bukti. Kita juga bisa tanya yang terlapor ‘apa kamu lakukan sebenarnya’ dan make it clear. Kecuali itu sudah jelas, terjadi di UMN dan sangat perlu dilaporkan,” ujar Fiona.

“Jangan-jangan kita yang ngerasanya apa. Itu lebih ke kebijaksanaan pribadi, sih, kalau menurut saya,” tambahnya.

Terkait hal tersebut, Direktur Utama HopeHelps Joce Timoty Pardosi mempunyai pendapat yang berbeda. Baginya, pilihan korban untuk melapor ataupun tidak, bukan alasan untuk menginvalidasi pengalaman korban.

“Pengalaman korban itu valid baik jika dia melapor maupun tidak melapor. Contoh kemalingan helm, kalian memilih untuk tidak melaporkan ke polisi. Apakah dengan tidak melaporkan ke polisi helmnya jadi tidak hilang? Kan, enggak,” tutur alumni FH UI ini.

Joce berpendapat bahwa logika seperti itu harus ditanamkan di kampus. Sebab, jika pada tahap awal pelaporan penyintas perlu menyertakan bukti, berarti kampus telah menginvalidasi pengalaman korban dan cenderung tidak peduli dengan pengalaman mahasiswanya. Dirinya juga mengaitkan pelaporan yang tidak masuk lewat kanal resmi dengan teori gunung es. Ketiadaan laporan kekerasan seksual di lembaga kampus bukan berarti tidak ada kekerasan seksual yang terjadi. Menurutnya, meski baru berupa desas-desus, kampus seharusnya menindaklanjuti hal tersebut, tanpa menunggu laporan resmi dari penyintas.

Kampus Belum Berperspektif Korban

Hingga saat ini belum ada ekosistem kampus di Indonesia yang menjadi ruang aman para mahasiswa, walaupun yang menuju ke sana sudah ada. Ekosistem tak hanya bicara tentang aturan yang dibuat kampus, tapi juga pelaksanaannya.

Karena ketiadaan ekosistem berperspektif korban, saat ini penanganan kasus kekerasan seksual di kampus-kampus di seluruh Indonesia kerap dimasukkan ke dalam ranah etik, termasuk di UMN. Padahal, penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan penanganan kasus plagiarisme. Joce berkata bahwa karena kebijakan tersebut, lembaga eksternal pendamping penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus seperti HopeHelps harus bekerja dua kali lipat, memastikan psikologi penyintas aman sebelum, saat, dan sesudah sidang kode etik.

Hal ini diperparah jika kampus hanya mementingkan nama baik mereka. Di kampus-kampus tersebut, laporan kekerasan seksual akan dipendam dalam-dalam untuk menjaga nama baik. Padahal, sebaliknya, menurut Joce, cara yang tepat untuk menjaga nama baik kampus adalah dengan menangani kasus kekerasan seksual secara tuntas dan berpihak pada penyintas.

Setidaknya, jika kampus memiliki Prosedur Operasi Standar (POS) yang berpihak pada korban seperti mewajibkan pendampingan psikologi; memisahkan pelaku dan penyintas saat pemeriksaan dan sebagainya, penanganan kekerasan seksual di kampus akan lebih terjamin.

Menurut Joce, penting bagi pihak Student Support untuk berperspektif korban. Kerahasiaan cerita penyintas perlu dijamin, proses penanganan psikologi perlu sejalan dengan administrasi kampus, dan yang terpenting, para konselor dan orang-orang yang menangani kasus kekerasan seksual di kampus perlu memposisikan diri mereka dengan tepat, setara dengan penyintas. Hal ini selaras dengan pernyataan Dian Novita yang mengharapkan Student Support tidak menghakimi penyintas dan menangani kasus dengan perspektif korban.

“Alangkah lebih baiknya mereka diberikan tempat kayak hotline atau tempat khusus pelaporan kekerasan seksual dan orangnya diberikan pelatihan untuk bisa menerima kasus-kasus seperti ini,” kata Dian Novita.

Dian Novita juga menyarankan adanya SOP penanganan kasus kekerasan seksual yang merupakan turunan dari Kode Etik itu sendiri. Misalnya: (1) korban melaporkan kasus ke hotline dan membaca petunjuk teknisnya; (2) hotline merujuk ke Student Support; (3) Student Support mengarahkan korban ke pihak yang terlatih untuk menangani kasus kekerasan seksual; (4) setelah konseling, buat kronologis kasus untuk membantu korban melapor ke Dewan Etik; (5) Dewan Etik mempertimbangkan kasus berdasarkan kronologis yang ada; (6); Dewan Etik memanggil pelaku untuk melakukan konfirmasi atas laporan; (7) Jika dalam sidang etik korban menyatakan trauma dan tidak mau bertemu pelaku, maka tidak boleh ditemukan dalam satu ruangan; dan (8) akan lebih baik jika konselor berjenis kelamin sama dengan korban.

Dian mengatakan, saat melaporkan kekerasan seksual yang ia alami, penyintas perlu diberikan dua pilihan: membawa kasus sampai ke DEM atau sekadar bercerita. Jika penyintas hanya ingin bercerita, Student Support harus memfasilitasi. Namun, jika penyintas ingin membawa kasus tersebut ke DEM, Student Support wajib mendukung dan mendampingi.

Kita Tak Perlu Jalan Sendiri

Joce berpendapat, langkah pertama yang perlu diambil mahasiswa untuk membawa perubahan ekosistem penanganan kekerasan seksual di kampus adalah mengorganisasi diri. Misalnya, membuat koalisi antar lembaga dan membuat pernyataan bersama yang menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di kampus harus segera ditangani. Tunjukkan bahwa penyintas tidak sendiri dan mahasiswa punya kekuatan. Dengan begitu, niscaya kampus akan paling tidak melirik.

“Bahkan, sekadar masuk radar mereka itu penting, supaya mereka tahu bahwa kita tidak main-main. Baru nanti kita buka komunikasi,” ujarnya.

Setelah membuka komunikasi, memperjuangkan agenda menjadi kunci. Amplifikasilah gerakan dengan mengikutsertakan media di kampus, atau bahkan ajak media kampus lain. Teruslah rekrut sekutu yang punya visi dan misi yang sama.

“Yang pasti kalian jangan jalan sendiri. Kalau jalan sendiri capek karena sistemnya belum ada,” pungkas Joce.

Kontak bantuan

Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja. Jika kamu pernah mengalami kekerasan seksual, semua pengalaman dan perasaanmu valid. Kamu berharga dan kami ada bersamamu.

Apabila kamu mengalami kekerasan seksual, memiliki kerabat yang mengalami kekerasan seksual, atau menemukan tindak kekerasan seksual di sekitarmu, jangan ragu untuk melaporkannya dan mencari bantuan psikologis/hukum dari lembaga-lembaga berikut:

Tim #SaatnyaBicara (khusus civitas akademika UMN)
Formulir pelaporan: s.id/SaatnyaBicaraUMN

Komnas Perempuan
Telepon: (021) 390 3963
Surel: mail@komnasperempuan.go.id

LBH APIK Jakarta
Hotline (WA): 0813–8882–2669
Telepon: (021) 87797289
Surel: pengaduanlbhapik@gmail.com / lbh.apik@gmail.com

Yayasan Pulih
Telepon: (021) 78842580
Pendaftaran konseling (WA): 0811–8436–633

Yayasan Lentera Sintas Indonesia
Twitter: @LenteraID
Instagram: @lentera_id

HopeHelps Network
Twitter: @HopeHelpsNet
Instagram: @hopehelpsnet

Reportase ini merupakan hasil liputan saya bersama Gracia Yolanda Putri, Xena Olivia, dan Aaron Patrick pada Juni 2021 untuk mata kuliah In-depth Journalism. Penyuntingan tulisan dilakukan oleh saya.

Tulisan ini direpublikasi oleh Ultimagz pada Juni 2020. Baca artikelnya di sini.

--

--

Charlenne Kayla Roeslie

Jurnalis lepas. Kadang menulis, kadang meneliti, selamanya membaca.