COVID-19 dan Perekonomian Indonesia: Wabah, Kemungkinan Resesi, dan Segala Hal yang Tak Pasti

Charlenne Kayla Roeslie
10 min readJun 27, 2021

--

Foto ilustrasi oleh Markus Winkler dari Unsplash

Tahun 2020 baru berjalan tiga bulan, tetapi malam tahun baru sudah terasa jauh sekali. Dari awal tahun, malapetaka rasanya menyergap umat manusia silih berganti. Mulai dari banjir Jabodetabek di hari pertama 2020, kebakaran hutan dan lahan di Australia yang tak kunjung usai, ancaman perang di Iran, hingga yang paling anyar, pandemi global COVID-19. Kematian, konflik, dan ketidakpastian begitu dekat dan sehari-hari.

Wabah COVID-19 merebak di Wuhan, Tiongkok, pada awal tahun ini. Sejak Januari, puluhan ribu orang terinfeksi virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) di Tiongkok dan lebih dari 3.265 meninggal dunia. Merebaknya wabah ini tentunya berdampak ke berbagai lini, termasuk ekonomi. Karena virus ini memiliki daya tular yang tinggi, pemerintah Tiongkok memutuskan untuk mengarantina wilayah (lockdown) Kota Wuhan dan Hubei pada 23 Januari lalu. Hal ini berakibat pada berhentinya pabrik-pabrik dan kegiatan manufaktur di kota tersebut. Kota-kota lain juga merasakan dampaknya. Sektor manufaktur Tiongkok pun mengalami kontraksi, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur mereka turun 0,2 poin ke posisi netral.

Seperti yang kita ketahui, Tiongkok merupakan pusat manufaktur berbagai perusahaan di dunia, termasuk perusahaan milik warga Indonesia. Melambatnya proses manufaktur tentu berimbas pada para pelaku ekonomi di Indonesia yang melakukan kegiatan produksi atau mendapatkan bahan baku dari Tiongkok. Hal ini juga merupakan kabar buruk bagi para investor Indonesia di perusahaan Tiongkok dan orang-orang yang berinvestasi lewat jual-beli mata uang Yuan atau yang umum disebut foreign exchange (forex).

Terlebih lagi, hubungan bilateral antara Tiongkok dan Indonesia dalam bidang ekonomi sangat erat. Kerjasama ekonomi Indonesia dan Tiongkok meliputi bidang investasi, perdagangan, hingga pemasokan bahan baku. Tiongkok pun merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada perekonomian Tiongkok akan berdampak pula pada perekonomian Indonesia.

Dengan wabah COVID-19 yang kini sudah mendapatkan status pandemi global dan menyebar ke lebih dari 185 negara, perekonomian global pun melambat. Indonesia pun merasakan dampak yang cukup besar. Pertumbuhan ekonomi tersendat, orang-orang terpaksa bekerja dari rumah, daya beli masyarakat menurun, usaha-usaha tutup dan bangkrut, saham pun merah sepanjang waktu. Pemerintah tentunya menyiapkan sejumlah kebijakan agar ekonomi segera membaik, atau setidaknya stabil dahulu. Namun, saya rasa, dampak sehari-hari yang kita rasakan jauh lebih besar dan akan bertahan cukup lama.

Secara makro, tentunya wabah COVID-19 berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Dalam pembacaan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia periode Maret 2020, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa BI merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020. Ekonomi Indonesia yang diperkirakan tumbuh sebesar 5–5,4% tahun ini diprediksi hanya akan tumbuh 4,2–4,6% saja, turun hampir 1% dari prediksi semula. Namun, BI memprediksi ekonomi Indonesia akan kembali membaik pada 2021 mendatang, dengan pertumbuhan sebesar 5,2–5,6%.

Prospek ekspor pun menurun drastis. Hal ini terjadi karena penutupan perbatasan ke negara-negara mitra. Selain itu, daya beli masyarakat di berbagai tempat di dunia pun turun. Tentunya, menurunnya ekspor akan berpengaruh pada angka Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data dari statista.com, PDB Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 4,6% jika COVID-19 menjadi pandemi global. Hal ini disebabkan Indonesia melakukan banyak impor bahan baku dari Tiongkok.

Selain prospek ekspor, nilai tukar rupiah juga saat ini juga melemah 5,18% persen dari Februari. Untuk perhitungan poin- to-point atau harian, rupiah mengalami pelemahan sebesar 5,72%. Pada Jumat (20/02) lalu, nilai jual rupiah terhadap dolar AS menembus angka Rp16.000. Sejak COVID-19 mewabah, rupiah telah mengalami depresiasi sebesar 8,77%. Terkait hal ini, Bank Indonesia menyebutkan telah menginjeksi likuiditas ke pasar uang serta perbankan. Salah satu caranya ialah membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas asing di pasar sekunder. Selama 2020, Bank Indonesia menyatakan telah membeli SBN sebesar hampir Rp 195 triliun.

Agar perekonomian negara dapat stabil atau setidaknya bertahan di saat-saat krisis seperti saat ini, tentu negara memerlukan cadangan devisa yang cukup. Apalagi, kegiatan ekonomi di berbagai sektor sedang melamban. Per akhir Februari 2020, Bank Indonesia melaporkan bahwa cadangan devisa negara berjumlah 130,4 juta miliar dolar AS. Cadangan devisa pada bulan Februari mengalami penurunan sebesar 1,3 miliar dolar AS dari Januari. Meski begitu, Perry menyebutkan bahwa cadangan devisa negara saat ini masih tergolong tinggi. Indonesia masih memiliki cadangan devisa setara dengan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka ini dua kali lipat dari standar kecukupan internasional yaitu cadangan devisa setara tiga bulan impor.

Untuk menangani imbas ekonomi COVID-19, pemerintah tentunya memiliki beberapa kebijakan moneter dan fiskal. Salah satu kebijakan moneter yang baru saja diumumkan oleh Bank Indonesia adalah penurunan suku bunga acuan menjaid 4,5%. Penurunan suku bunga dilakukan untuk mendorong konsumsi masyarakat serta dunia usaha. Suku bunga pinjaman turun 25 basis poin menjadi 5,25%, sedangkan suku bunga simpanan turun 25 basis poin menjadi 3,75%.

Sesuai dengan prinsip circular economy, penurunan suku bunga akan berdampak pada meningkatnya pinjaman yang diambil oleh masyarakat. Uang yang beredar pun akan bertambah sehingga daya beli masyarakat naik. Saat daya beli dan konsumsi masyarakat meningkat, maka produksi pun akan pelan-pelan meningkat karena hukum pasar. Saat permintaan meningkat, maka persediaan pun akhirnya harus ditingkatkan. Ini membuat roda perekonomian bergerak kembali.

Untuk mendukung transaksi cashless, Bank Indonesia juga disebutkan akan menurukan biaya kliring dari perbankan ke nasabah dari Rp3.500 menjadi Rp2.900. Kebijakan ini akan berlaku sepanjang tahun 2020 mulai tanggal 1 April mendatang. Di banyak tempat perbelanjaan dan transportasi umum, transaksi cashless juga mulai digalakkan kembali demi mengantisipasi penyebaran COVID-19. Halte-halte TransJakarta kini tak lagi menerima pengisian kartu uang elektronik menggunakan uang tunai maupun kartu debit. Penumpang diharuskan memiliki saldo yang cukup sebelum tiba di halte.

Di sektor riil, dampak COVID-19 paling terasa dekat. Bila di level makro dampaknya terasa jauh, maka di level mikro dampak COVID-19 dapat kita lihat sehari-hari. Sejak awal wabah, pemerintah sudah kelimpungan menyelamatkan sektor-sektor strategis seperti pariwisata. Walau pemerintah sempat dihujat karena ingin memberikan diskon tiket pesawat ke destinasi-destinasi wisata di saat-saat seperti ini, saya rasa dari sisi ekonomi kebijakan tersebut cukup masuk akal walau tak begitu baik dalam jangka panjang.

Sektor pariwisata memang sedang turun drastis. Hotel-hotel di berbagai destinasi (terutama Bali, yang biasanya banyak dikunjungi wisatawan asing) terpaksa meminta pegawai mereka untuk mengambil cuti tidak dibayar (unpaid leave) karena occupancy rate hotel menurun drastis. Pengelola travel terpaksa menutup sementara usahanya karena banyak konsumen yang membatalkan rencana bepergian mereka, entah karena travel ban, menghindari penyebaran wabah, ataupun was-was tak bisa pulang bila terjebak karantina wilayah di negeri lain.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Hariyadi B. Sukamdi mengatakan, sejak Januari hingga Maret ini sektor pariwisata diperkirakan telah mengalami kerugian sebesar 1,5 miliar dolar AS. Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menaksir kerugian sektor pariwisata selama wabah COVID-19 berlangsung mencapai 530 juta dolar AS.

Tak hanya sektor pariwisata, yang mengalami penurunan drastis. Sektor food & beverage pun turut terkena dampak COVID-19. Imbauan pemerintah untuk melakukan kegiatan dari rumah dan tidak bepergian menyebabkan banyak restoran dan pedagang makanan merugi. Terlebih, pedagang yang berjualan di pusat perkantoran atau kantin karyawan.

Universitas Multimedia Nusantara misalnya, meniadakan kegiatan perkuliahan secara langsung hingga akhir semester nanti. Universitas Indonesia pun melakukan hal yang sama. Dengan tak adanya mahasiswa yang datang ke kampus, para pedagang makanan di kantin dan sekitar kampus pasti akan merugi, bahkan berhenti beroperasi sementara.

Pusat perbelanjaan pun menyesuaikan jam operasional mereka berkenaan dengan merebaknya wabah COVID-19. Selain karena imbauan untuk tinggal di rumah, hal ini juga disebabkan oleh menurunnya aktifitas ekonomi di pusat perbelanjaan. Untuk memangkas biaya operasional, maka pusat perbelanjaan tutup lebih awal. Karena hal itu, pekerja di pusat perbelanjaan pun terpaksa bekerja setengah hari saja. Banyak toko juga merumahkan karyawan mereka.

Pengemudi ojek daring juga menjadi salah satu pelaku ekonomi yang paling merasakan dampak dari imbauan pemerintah untuk tidak bepergian. Seorang pengemudi ojek daring yang beberapa waktu lalu saya tumpangi bercerita bahwa pendapatannya menurun drastis sejak wabah merebak. Menjelang malam, umumnya beliau sudah melampaui target antarnya pada hari itu, membawa belasan penumpang. Namun, sejak COVID-19 merebak, hingga pukul tiga sore beliau baru mengantar tiga orang penumpang.

Beruntung, beberapa hari belakangan banyak orang-orang baik di media sosial yang membuat gerakan untuk membantu para ojek daring dan restoran-restoran yang omsetnya turun akibat wabah. Para influencer di media sosial menggerakkan masyarakat untuk membelikan makan siang dari restoran-restoran bagi para pengemudi ojek daring. Selain membantu pengemudi ojek daring menghemat pengeluaran serta mendapatkan pesanan, gerakan ini juga membantu restoran-restoran tetap beroperasi dan memperoleh laba di tengah wabah.

Meski imbauan untuk bekerja dari rumah sedang gencar-gencarnya diserukan pemerintah, masih banyak pekerja kantoran, pekerja harian, dan pekerja sektor jasa yang tak bisa bekerja dari rumah. Kebanyakan dari mereka juga mengandalkan transportasi umum untuk bepergian ke atau dari tempat kerja. Hal ini terbukti dari penumpukan penumpang pada halte-halte TransJakarta, MRT, dan LRT pada awal minggu lalu (16/03).

Minggu ini, pemerintah DKI Jakarta kembali mengurangi jam operasional dan frekuensi kedatangan transportasi umumnya. Kali ini, KRL pun terkena imbasnya. Meski pemerintah daerah telah mengimbau perusahaan untuk memberlakukan kebijakan bekerja daru rumah, pagi ini (23/03) masih tampak penumpukan penumpang di sejumlah halte TransJakarta dan stasiun KRL. Alih-alih membantu keadaan, saya rasa kebijakan pengurangan armada dan jam operasional transportasi umum ini malah memperburuk keadaan. Kita diminta untuk melakukan penjarakan sosial, tetapi bagaimana caranya melakukan penjarakan sosial di dalam kereta yang penuh?

Menurut saya, akan lebih bijak bagi pemerintah DKI Jakarta untuk tetap menjalankan transportasi umum seperti biasa. Dengan begitu, jumlah penumpang di setiap armada atau gerbong pun akan berkurang karena semakin banyak masyarakat yang bekerja dari rumah. Perhatikan juga para tenaga medis yang harus pulang larut malam karena wabah ini dan menggunakan transportasi umum.

Pasar modal pun sedang carut-marut sejak awal tahun. Terlebih, pasar saham. Saham-saham yang menjadi pegangan banyak investor mengalami penurunan harga yang cukup drastis. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok ke angka 4.191,49 pada Jumat (20/03) ini. Ini berarti IHSG turun sebanyak 14,5% selama pekan lalu. Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan harus membekukan sementara perdagangan sebanyak dua kali pekan lalu. Selama bulan ini, BEI telah empat kali melakukan pembekuan perdagangan sementara. DI tengah ketidakpastian ekonomi global dan dalam negeri, banyak investor asing yang menjual sahamnya di perusahaan-perusahaan dalam negeri.

Sehubungan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investor asing ke Indonesia di periode keduanya, kondisi ini jelas kurang menguntungkan. Terlebih lagi, sektor perdagangan luar negeri Indonesia juga sedang terhambat karena dampak COVID-19. Saham yang terus menerus berwarna merah berarti pertanda buruk bagi sektor industri ke depannya. Tak heran, para investor asing melakukan cut loss sebelum harga saham jatuh.

Namun, pemerintah bisa bernapas lega. Investor-investor asing tersebut disebutkan hanya berpindah ke instrumen investasi lain yang dinilai lebih aman untuk saat ini. Dibandingkan dengan saham yang berisiko tinggi, obligasi termasuk dalam instrumen investasi berisiko sedang. Walau memiliki return yang lebih rendah, namun obligasi cenderung lebih stabil. Beberapa investor juga beralih ke emas, instrumen investasi yang dijuluki sebagai safe haven para investor. Harganya yang cenderung stabil menjanjikan return yang pasti. Walau selama seminggu terakhir, harga emas turun. Bahkan pagi ini, harga emas turun ke angka Rp 861.000 per gram, menurun Rp 9.000 dari kemarin.

Dalam pembacaan hasil RDG BI periode Maret 2020, Perry menyatakan bahwa investasi modal asing turun drastis dari 5,1 miliar dolar AS pada Februari lalu ke angka 356 juta dolar AS pada Selasa (17/03). Aliran dana asing juga menurun karena profil risiko yang tinggi di tengah wabah.

Meski begitu, dengan keadaan pasar saham yang sedang tidak kondusif, saya rasa ini merupakan kesemparan bagi para investor pemula atau orang-orang yang ingin menabung saham untuk membeli saham-saham blue chip yang ada di daftar LQ45. Anggap saja harga-harga saham tersebut sedang diskon. Toh, market tak akan turun selamanya dan saham-saham tersebut terbukti bisa bounce back dan bertahan melewati krisis di tahun-tahun sebelumnya. Bagi para investor pemula, saya rasa menjual saham di saat-saat seperti ini juga bukanlah hal yang bijak. Investor pemula harus ingat bahwa dalam berinvestasi, holding power-lah yang perlu dipertimbangkan. Bila kita menjual semua aset kita di saat krisis, maka saat krisis telah terlewati dan harga aset kembali naik, kita akan kesulitan untuk membelinya kembali.

Ketidakpastian yang menyelimuti setiap aspek kehidupan kita saat ini tidak dapat dianggap remeh. Bila wabah terus bertahan hingga enam bulan atau setahun ke depan, maka ada kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis ekonomi yang sama parahnya seperti 1997. Terlebih lagi, keadaan ini akan berefek secara global. Dengan resesi ekonomi yang berada di depan mata, seharusnya kita dapat lebih bijak dalam mengatur keuangan personal kita masing-masing.

Salah satu caranya ialah memiliki dana darurat. Dana darurat harus mencakup paling tidak tiga kali dari pengeluaran bulanan kita. Namun, di kondisi krisis seperti saat ini, saya rasa akan baik bila kita memiliki dana darurat setara dengan pengeluaran enam bulan, bahkan satu tahun. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang merumahkan karyawannya, serta daya beli masyarakat yang menurun, usaha-usaha kini terancam merugi, bahkan bangkrut. Proses melamar kerja adalah proses yang panjang, dan di tengah wabah, jarang ada perusahaan yang akan merekrut karyawan baru. Kita pun terpaksa hidup menggunakan dana darurat.

Pemerintah pun dinilai perlu berfokus pada penanganan COVID-19 terlebih dahulu, dibading memberi banyak insentif untuk menstabilkan ekonomi. Masalahnya, bila pemerintah tidak buru-buru menangani penyebaran virus dan semakin banyak orang yang terinfeksi, maka roda perekonomian pun akan semakin tersendat. Kekhawatiran akan menyelimuti masyarakat, sehingga mereka memilih untuk tetap berada di dalam rumah. Semakin lama pemerintah membiarkan penyebaran virus terus terjadi, maka semakin lama pula krisis ekonomi ini akan berlangsung. Bila pemerintah menanganinya dengan serius dan cepat, maka aktifitas ekonomi juga akan kembali berjalan normal secepatnya.

Insentif diperlukan, tetapi perlu menunggu kegiatan ekonomi berjalan lagi. Di saat-saat seperti ini, sebanyak apapun insentif yang diberikan pemerintah, saya rasa masyarakat akan tetap mengencangkan ikat pinggang dan menahan konsumsi karena ketidakpastian ekonomi global. Sebagai pelaku ekonomi, saya pun akan berhemat sampai wabah berlalu. Terlalu riskan untuk menghambur-hamburkan uang saat ini.

Namun, negara seharusnya tak perlu terlalu cemas. Umumnya, setelah pandemi, perang, atau krisis ekonomi berlalu, masyarakat cenderung melakukan konsumsi besar-besaran karena merindukan “kemewahan”. Tahun 2021 mendatang, bila pandemi akhirnya mereda, saya rasa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih dari prediksi Bank Indonesia. Sektor riil, investasi, dan pasar saham pun akan kembali meningkat karena daya beli masyarakat telah kembali.

Mari, kita lewati masa-masa penuh ketidakpastian ini dengan mencoba untuk tetap tenang dan bersiap menghadapi skenario terburuk. Kencangkan ikat pinggangmu, siapkan dana daruratmu, dan jangan jual saham-sahammu. Malapetaka ini akan berakhir dan umat manusia, seperti pada umumnya, akan terus bertahan.

Tulisan ini dibuat pada Maret 2020 untuk mata kuliah Business Journalism.

--

--

Charlenne Kayla Roeslie

Jurnalis lepas. Kadang menulis, kadang meneliti, selamanya membaca.